Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan:
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ
فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak pernah dikenal
pada masa Rasulullah SAW.” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).
Menurut pengertian yang diberikan oleh Imam Izzuddin bin
Abdissalam ini, seluruh perbuatan atau amalan keagamaan yang belum ada
dan tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW adalah bid’ah, meskipun perbuatan itu adalah perbuatan
yang baik.
Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini mengumpulkan
ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushhaf, menulis kitab-kitab hadits, membukukan
berbagai kajian fiqh dan tafsir, memperingati maulid Nabi SAW, khutbah dengan selain bahasa Arab,
menunaikan ibadah haji dengan naik pesawat, arisan haji, pengajian setiap Ahad
pagi, dan berbagai macam amalan baik lainnya adalah bid’ah. Mengapa? Karena
semua hal itu belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW.
Namun demikian beliau tidak berpandangan bahwa semua yang
tidak ada pada masa Rasulullah SAW dianggap sebagai bid’ah dhalalah (bid’ah sesat dan
tercela), yang pelakunya diancam akan disiksa di dalam neraka. Beliau justru
membagi bid’ah ke dalam lima bagian. Ketika menjelaskan kelima macam bid’ah itu
beserta contoh-contohnya, beliau berkata:
“Bid’ah wajibah (bid’ah wajib) memiliki banyak contoh.
Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami
al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib
dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan
sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib.
Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits
yang shahih dan yang dhaif (lemah). Bid’ah muharramah
(bid’ah haram) memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran Qadariyah,
Jahamiyah, Murji’ah, dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap berbagai bid’ah
tersebut termasuk bid’ah yang wajib.
Bid’ah mandubah (bid’ah sunnah) memiliki
banyak contoh, di antaranya mendirikan madrasah-madrasah, jembatan-jembatan,
dan setiap perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa generasi awal, di
antaranya adalah shalat Tarawih. Bid’ah makruhah (bid’ah makruh)
memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf
al-Qur’an. Bid’ah mubahah (bid’ah mubah) memiliki banyak contoh, di
antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah,
tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran...” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/173).
Lima macam bid’ah ini bisa dikelompokkan menjadi
dua bagian besar, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i berikut ini:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا اُحْدِثَ
يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ اِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ
الضَّلاَلَةِ وَمَا اُحْدِثَ فِي
الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًَا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌُ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍِ
“Perkara yang baru
terbagi menjadi dua bagian. Pertama, sesuatu yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ atau Atsar (apa yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara
mereka yang mengingkari), inilah bid’ah yang sesat. Kedua perkara yang baru
yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, inilah sesuatu
yang baru yang tidak tercela.” (Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Kalau kita perhatikan ungkapan Imam Syafi’i di atas terlihat
dengan jelas bahwa beliau membagi bid’ah ke dalam dua kategori: bid’ah
dhalalah (bid’ah sesat/tercela) dan bid’ah hasanah (bid’ah
terpuji/baik). Yang menjadi tolok ukur dalam membedakan mana bid’ah tercela dan
mana bid’ah terpuji adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar para sahabat, dan Ijma’ para
ulama. Jika sesuatu yang baru itu bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar
dan Ijma’, maka ia tergolong bid’ah dhalalah. Sedangkan apabila ia
bersesuaian dengan hal-hal tersebut, maka ia tergolong bid’ah hasanah,
sekalipun belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW.
Bahkan Imam Syafi’i menafikan nama bid’ah terhadap sesuatu
yang memiliki landasan syar’i meskipun belum pernah diamalkan pada masa salaf. Simaklah
perkataan beliau berikut ini:
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ
فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ ِلأَنَّ تَرْكَهُمْ
لِلْعَمَلِ بِهِ قَدْ يَكُوْنُ لِعُذْرٍِ قَامَ لَهُمْ فِي الْوَقْتِ أَوْ لِمَا
هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوْ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْ جَمِيْعَهُمْ عِلْمٌ بِهِ --
الحافظ الغمار، إتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة، ص/٥
“Segala sesuatu yang memiliki dasar dari dalil-dalil
syar’i, maka bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan pada masa
salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada
uzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amalan lain yang lebih utama,
dan atau barangkali hal itu belum terlintas di dalam pengetahuan mereka.”
Ketika Imam Syafi’i berkata demikian tentunya Anda tidak akan
berpikir bahwa ucapan itu tanpa dalil. Namun rasanya kurang tepat bila tidak
kami sertakan di sini dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat beliau saat
membagi bid’ah menjadi dua bagian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dalil Pertama:
Hadits yang bersumber dari Aisyah ra yang berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang
berbuat sesuatu yang baru dalam syariat ini yang tidak sesuai dengannya, maka
ia tertolak.” (HR
Muslim).
Dalil Kedua:
Hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdillah al-Bajali ra
yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي
اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa
merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang
baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut, juga pahala dari orang yang
melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala
mereka, dan barangsiapa merintis dalam Islam sunnah (perbuatan) yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan
tersebut, juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya
tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim).
Coba perhatikan hadits tersebut. Tidakkah di dalamnya
terdapat kebolehan, bahkan anjuran agar setiap Muslim mengadakan (menciptakan)
sunnah hasanah (perbuatan baik). Ada janji Nabi SAW
di dalam hadits tersebut yang menyatakan bahwa seorang Muslim yang merintis
perbuatan baik di dalam agama ini, lalu ada orang lain yang mengikutinya, maka
ia akan memperoleh dua macam pahala: pahala karena ia telah merintis sebuah perbuatan
baik dan pahala karena ada orang lain yang mengikuti perbuatan baik yang dirintisnya
itu.
Sebaliknya, yang dilarang adalah merintis
(menciptakan/mengadakan) perbuatan buruk. Nabi SAW mengancam orang-orang yang melakukan
hal ini dengan dua macam dosa: dosa rintisannya terhadap perbuatan buruk dan
dosa karena ada orang yang mengikuti perbuatan buruknya itu.
Dalil Ketiga:
Hadits yang bersumber dari Abdurrahman bin Abd al-Qari ra,
tentang perkataan Umar bin Khaththab ra berkaitan dengan shalat Tarawih
berjamaah yang beliau anjurkan:
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah
ini.” (HR Bukhari dan Malik).
Berdasarkan
pada tiga hadits di atas muncullah pendapat Imam Syafi’i seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama.
Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan akan
menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amalan yang akan menambah
syiar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang.