Ilmu Tauhid

Pengertian Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid adalah:
 
عِلْمُ التَّوْحِيْدِ عِلْمُ يُقْتَدَرُ بِهِ عَلَى اِثْبَاتِ الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا الْيَقِيْنِيَّةِ (تحفة المريد : ٣٨)
 
Suatu ilmu yang karenanya ada kemampuan untuk mengokohkan 'aqidah-'aqidah agama dengan dalil-dalilnya yang pasti. (Al-Bajuri, Tuhfatul Murid, hlm. 38)
 
Ilmu ini disebut dengan Ilmu Tauhid karena di dalamnya membahas tentang keesaan Allah dan pembuktiannya. Kadangkala ilmu tauhid juga disebut Ilmu Ushuluddin, karena di dalamnya dijelaskan pokok-pokok keyakinan dalam agama Islam. Ilmu ini juga dinamakan Ilmu Kalam, karena di dalam menjelaskan dan membuktikan keesaan Tuhan itu memerlukan pembicaraan yang benar.
 
Pentingnya Belajar Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid adalah ilmu yang sangat penting bagi setiap Muslim. Sebab ilmu ini menyangkut 'aqidah yang berkaitan dengan Islam. Sedangkan 'aqidah merupakan pondasi bagi keberagamaan seseorang dan benteng yang kokoh untuk memelihara 'aqidah Muslim dari setiap ancaman keraguan dan kesesatan.
 
Kita seringkali mendengar terjadinya berbagai penyimpangan dalam berpikir, berkata dan bertindak. Hal itu terjadi karena jauhnya pemahaman yang benar tentang dasar-dasar 'aqidah Islam dan masalah-masalah keimanan.
 
Prinsip-prinsip 'aqidah dalam Islam dan masalah-masalah keimanan adalah ajaran yang dibawa oleh para rasul sejak dahulu. Hal tersebut harus diyakini oleh setiap orang yang beriman, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah Subhanahu wata’ala:
 
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ (الأنبياء: ٢٥)
 
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang sebenarnya) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. al-Anbiya': 25)
 
Telah dimaklumi dalam ajaran agama, bahwa semua amal saleh yang dilakukan oleh seseorang dengan penuh ketulusan hanya akan diterima Allah Subhanahu wata’ala apabila didasari dengan 'aqidah Islam yang benar yang menjadi bahasan Ilmu Tauhid ini. Karena penyimpangan dari 'aqidah yang benar berarti penyimpangan dari keimanan yang murni kepada Allah. Dan penyimpangan dari keimanan adalah bentuk kekufuran kepada Allah Subhanahu wata’ala. Sedangkan Allah Subhanahu wata’ala tidak akan menerima amal baik yang dilakukan oleh orang yang tidak beriman, berapapun banyaknya amal yang dia kerjakan. Dalam hal ini Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
 
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ (البقرة: ٢١٧)
 
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah: 217)
 
Sumber: di sini

Hisablah Diri Kalian

Diriwayatkan bahwa dalam salah satu khutbahnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra pernah berpesan:

“Hisablah diri kalian sebelum tiba waktu penghisaban kalian. Sungguh, tidaklah suatu kaum itu meninggalkan jihad fi sabilillah, kecuali Allah akan menimpakan kefakiran pada mereka. Dan tidaklah perbuatan zina itu merebak dalam suatu kaum, kecuali Allah akan menimpakan siksa-Nya pada mereka.”
 
Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam Kitab Kanzul Ummal pada hadits nomor 14114. 
 
Di sini Abu Bakar Ash-Shiddiq ra memberikan nasihat kepada kita agar sesegera mungkin menghisab diri sendiri, sebelum tiba saat penghisaban yang akan dilakukan Allah pada kita. Menghisab diri sendiri artinya melakukan penimbangan atas amal kebaikan yang mendatangkan pahala yang telah kita lakukan dan amal keburukan yang mendatangkan dosa yang juga telah kita lakukan. Perhatikanlah, mana di antara keduanya yang lebih banyak. Yang terbaik adalah selalu menduga bahwa keburukan kita jauh lebih banyak daripada kebaikan. Sikap ini akan membuat kita senantiasa terdorong untuk melakukan amal kebajikan. 
 
Nasihat ini juga mengajarkan kepada kita agar jangan pernah meninggalkan jihad fi sabilillah, karena ia merupakan salah satu bentuk amal yang paling utama. Namun demikian, janganlah jihad diartikan hanya sebagai perang, karena perang hanya salah satu dari sekian banyak makna jihad. Jihad fi sabilillah adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menegakkan nilai-nilai yang mendatangkan keridhaan Allah. Karena tujuan dari jihad itu adalah menggapai ridha Allah, maka hendaklah ia dilaksanakan dengan cara-cara yang diridhai Allah. Orang yang dalam dirinya sama sekali tak memiliki semangat untuk menegakkan nilai-nilai yang mendatangkan keridhaan Allah, maka sungguh ia menjadi seorang manusia yang sangat fakir dalam keimanan. Boleh jadi hidupnya bergelimang harta, namun sebenarnya ia hidup dalam kemiskinan, yakni miskin iman. 
 
Melalui nasihat ini juga Abu Bakar Ash-Shiddiq ra mengingatkan kita agar menjauhi zina dan segala macam jalan yang bisa mengantarkan manusia kepadanya. Hendaklah setiap diri berusaha menciptakan jarak sejauh mungkin dengan jalan-jalan yang menuju kepada perzinahan, agar zina tidak menjadi kebiasaan yang hidup tengah-tengah suatu kaum. Seandainya zina telah menjadi hal biasa bagi suatu kaum, maka tak ada yang layak mereka peroleh dari sisi Tuhan selain siksa-Nya. 
 
Oleh karena itu, hisablah diri sebelum Allah menghisabnya, berjuanglah menegakkan segala amal yang diridhai Allah, dan jauhi zina serta jalan-jalan yang mengarah kepadanya, niscaya Allah akan menyediakan bagi kita keberkahan dan pahala yang luar biasa dari sisi-Nya.

Pengertian Nikah

Nikah secara bahasa artinya al-wath’u, yakni hubungan seksual. Sedangkan secara syariat, nikah dimaknai sebagai akad dengan menggunakan lafazh inkaah (nakahtuka, zawajtuka) atau yang semakna dengannya disertai syarat-syarat tertentu yang setelahnya menyebabkan seseorang dibolehkan melakukan hubungan seksual. Keterangan yang demikian ini bisa kita temukan dalam Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Manhaj karya Syekh Sulaiman al-Bujairimi dan al-Iqna’ karya Syekh Ahmad asy-Syarbini, kedua-duanya dalam Kitab an-Nikah.
 
Nikah merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan di dalam Islam. Agama suci ini memandang bahwa pernikahan sama sekali bukanlah penghalang bagi seseorang untuk mencapai tingkat spiritualitas tentinggi. Sebaliknya, pernikahan merupakan jalan bagi seseorang untuk memenuhi setengah dari keberagamaannya. Artinya, setelah seseorang menikah maka setengah dari urusan agamanya telah ia penuhi.
 
Sebagai makhluk berakal, manusia menjadi yang paling sempurna di antara ciptaan Allah SWT. Oleh karena keadaan itu pula manusia mengemban tugas yang tidak sedikit yang kelak harus dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT. Seiring perjalanan hidupnya sejak pertama kali dilahirkan ke dunia ini hingga menjadi manusia dewasa, bertambah pula kebutuhannya. Satu di antara sekian banyak kebutuhan manusia adalah kebutuhan vital untuk merasakan hubungan biologis yang harmonis dengan lawan jenisnya. 
 
Kebutuhan tersebut pada hakikatnya adalah fitrah yang tidak mungkin seorang pun mampu menghilangkan dari dirinya. Nah, menikah adalah salah satu cara paling beradab dari manusia dalam memenuhi kebutuhan biologisnya. Cara ini pula yang membedakan manusia dari binatang yang melampiaskan hasratnya sesuai keinginannya tanpa panduan dan batasan yang jelas. Dengan demikian, jika ada manusia yang memenuhi kebutuhan biologisnya tanpa melewati pintu pernikahan, maka sungguh ia telah menempatkan dirinya sederajat dengan binatang. Na’udzubillah.
 
Namun demikian, pernikahan bukanlah sekedar untuk membedakan manusia dari binatang dalam persoalan memenuhi kebutuhan biologis. Ada tujuan yang jauh lebih utama dan lebih mulia daripada itu, yakni menggapai keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Inilah hendaknya yang menjadi tujuan dan arah dilaksanakannya suatu pernikahan, dan hal itu hanya bisa digapai bila pernikahan dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
 
Allah SWT berfirman:
 
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً، إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
 
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum [30]: 21)
 
Coba Anda perhatikan ayat di atas. Jika Anda merenungkan maknanya maka Anda akan mendapatkan kesimpulan bahwa menikah bukanlah suatu proses yang menjadikan salah satu pihak sebagai objek. Ketika pernikahan dilangsungkan maka kedua belah pihak (suami – istri) pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama untuk berumah tangga, saling melengkapi dan saling mengisi kekurangan antara satu dengan lainnya, demi terciptanya kehidupan yang harmonis di antara mereka berdua. Hal inilah yang akan melahirkan ketenteraman hati dan jiwa sehingga keduanya bisa menjadikan pernikahan sebagai ladang tempat menyemai kebaikan yang kelak akan mereka panen hasilnya saat berpulang ke haribaan Allah SWT.
 
Sebaliknya, ketika kesadaran tersebut tidak hadir pada keduanya, maka salah satu dari mereka akan menjadi objek bagi yang lain. Ketenteraman hidup takkan tercapai dan jiwa mereka akan terombang-ambing. Dalam kasus seperti ini pernikahan sekedar menjadi jalan untuk melampiaskan syahwat dan bila telah terpenuhi, perasaan bosan mulai hadir, maka mereka akan mencari yang lain. Orang-orang yang menjalani pernikahan dengan cara seperti ini pasti akan lalai hatinya dari tujuan hidup yang sesungguhnya.
 
Nikah menempati kedudukan yang penting dalam ajaran Islam. Untuk mengetahui seberapa penting menikah bagi seorang Muslim, simaklah riwayat berikut ini:
 
عَنْ أَبِيْ ذَرٍِّ قَالَ دَخَلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ عَكَّافُ بْنُ بِشْرٍ التَّمِيْمِيُّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَكَّافُ هَلْ لَكَ مِنْ زَوْجَةٍ قَالَ لاَ قَالَ وَلاَ جَارِيَةٍ قَالَ وَلاَ جَارِيَةَ قَالَ وَأَنْتَ مُوْسِرٌ بِخَيْرٍ قَالَ وَأَنَا مُوْسِرٌ بِخَيْرٍ قَالَ أَنْتَ إِذًا مِنْ إِخْوَانِ الشَّيَاطِيْنِ وَلَوْ كُنْتَ فِي النَّصَارَى كُنْتَ مِنْ رُهْبَانِهِمْ إِنَّ سُنَّتَنَا النِّكَاحُ شِرَارُكُمْ عُزَّابُكُمْ وَأَرَاذِلُ مَوْتَاكُمْ عُزَّابُكُمْ أَبِالشَّيْطَانِ تَمَرَّسُوْنَ مَا لِلشَّيْطَانِ مِنْ سِلاَحٍ أَبْلَغُ فِي الصَّالِحِيْنَ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ الْمُتَزَوِّجُوْنَ أُولَئِكَ الْمُطَهَّرُوْنَ الْمُبَرَّءُوْنَ مِنَ الْخَنَا وَيْحَكَ يَا عَكَّافُ إِنَّهُنَّ صَوَاحِبُ أَيُّوْبَ وَدَاوُدَ وَيُوْسُفَ وَكُرْسُفَ فَقَالَ لَهُ بِشْرُ بْنُ عَطِيَّةَ وَمَنْ كُرْسُفُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ رَجُلٌ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ بِسَاحِلٍ مِنْ سَوَاحِلِ الْبَحْرِ ثَلاَثَ مِائَةِ عَامٍ يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ ثُمَّ إِنَّهُ كَفَرَ بِاللهِ الْعَظِيْمِ فِيْ سَبَبِ امْرَأَةٍ عَشِقَهَا وَتَرَكَ مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ عِبَادَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ اسْتَدْرَكَهُ اللهُ بِبَعْضِ مَا كَانَ مِنْهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَيْحَكَ يَا عَكَّافُ تَزَوَّجْ وَإِلاَّ فَأَنْتَ مِنَ الْمُذَبْذَبِيْنَ قَالَ زَوِّجْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ قَدْ زَوَّجْتُكَ كَرِيْمَةَ بِنْتَ كُلْثُوْمٍ الْحِمْيَرِيِّ
 
Artinya: Dari Abu Dzar dia berkata, “Seorang laki-laki yang bernama Akkaf bin Bisyr at-Taimi datang menemui Rasulullah SAW. Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya, “Wahai Akkaf, apakah kamu telah memiliki istri?” Dia menjawab, “Tidak.” Nabi bertanya lagi, “Tidak juga seorang budak wanita?” Dia kembali menjawab, “Tidak juga budak wanita.” Nabi bersabda, “Engkau dalam keadaan lapang?” Ia menjawab, “Ya, saya dalam keadaan lapang.” Nabi SAW pun bersabda, “Kalau begitu kamu termasuk saudara-saudara setan, seandainya kamu orang Nasrani pasti kamu termasuk para pendeta mereka. Sesungguhnya sunah kami adalah menikah, orang yang paling buruk di antara kalian adalah orang yang masih bujang, dan mayit kalian yang paling hina adalah orang yang meninggal dalam keadaan masih bujang. Apakah kalian hendak melawan setan padahal tidak ada senjata setan yang paling ampuh untuk melawan orang-orang saleh selain wanita? Kecuali bagi orang-orang yang sudah beristri. Mereka itulah orang-orang yang disucikan lagi dihindarkan dari perbuatan keji. Celakalah kamu wahai Akkaf! Sesungguhnya para wanita adalah senjata yang digunakan untuk menggoda Nabi Ayyub, Nabi Daud, Nabi Yusuf dan Kursuf.” Bisyr bin Athiyah lalu bertanya kepada beliau, “Siapa Kursuf itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ia adalah seorang lelaki yang beribadah kepada Allah di tepi laut selama tiga ratus tahun; siangnya ia berpuasa dan malamnya ia shalat, namun kemudian ia kafir kepada Allah Yang Maha Agung disebabkan seorang wanita yang ia sukai, dan ia tinggalkan kebiasaan ibadahnya kepada Allah Azza wa Jalla. Kemudian Allah mengembalikannya menjadi baik sehingga ia bertaubat. Celaka kamu wahai Akkaf, hendaklah engkau menikah! Jika tidak berarti kamu termasuk orang yang ragu-ragu.” Kemudian Akkaf berkata, “Nikahkan aku wahai Rasulullah!” Beliau lalu bersabda, “Aku nikahkan engkau dengan Karimah binti Kultsum al-Himyari.” (HR Ahmad)
 
Dari hadits di atas kita dapatkan informasi bahwa menikah merupakan sunnah Nabi SAW. Beliau adalah seorang yang paling mulia di sisi Allah SWT dan beliau pun menikah. Dalam pandangan Nabi, seorang yang hidup membujang (dan dengan sengaja tidak mau menikah) adalah seburuk-buruk manusia, dan jika ia meninggal dunia maka ia mati dalam keadaan hina. Sebaliknya, orang yang menikah adalah orang yang menegakkan sunnah Nabi dan orang yang suci serta selamat dari perbuatan kotor. Maka, jika Anda saat ini belum menikah dan telah memiliki kemampuan untuk menjalani pernikahan, sebagaimana Akkaf pada hadits di atas, hendaklah Anda segera menikah sehingga Anda tidak tergolong ke dalam kelompok orang-orang yang ragu.

Berdiri Menghadap Kiblat

Rasulullah Saw melakukan shalat fardhu maupun sunnah dengan berdiri menghadap kiblat. Namun demikian, bagi yang tidak mampu berdiri maka boleh shalat dengan cara duduk atau tidur miring. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits:
 
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيْرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ، فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ - رواه البخاري
 
"Dari Imran bin Hushain ra ia bercerita, "Pada saat aku terkena penyakit ambien, aku bertanya kepada Nabi Saw tentang caraku mengerjakan shalat." Maka Nabi Saw bersabda, "Shalatlah dengan cara berdiri, jika tidak mampu maka duduk, dan bila tidak mampu maka tidur miring." (Shahih al-Bukhari, Juz I, halaman 376 [1066]).
 
Berdiri saat menunaikan shalat fardhu itu hukumnya wajib. Sementara pada shalat sunnah hukumnya adalah sunnah. Dalam hadits disebutkan:
 
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَهُوَ قَاعِدٌ، فَقَالَ مَنْ صَلَّى قَإِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلاَّ قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلاَّ نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ - رواه البخاري
 
"Dari Imran bin Hushain ia bercerita, "Saya bertanya kepada Nabi Saw tentang shalat yang dilakukan oleh seseorang sembari duduk. Nabi Saw menjawab, "Barangsiapa yang shalat dengan berdiri, maka itulah yang paling utama. Sedangkan shalat sambil duduk pahalanya setengah pahala shalat berdiri. Dan shalat sambil tidur itu pahalanya setengah dari shalat sambil duduk." (Shahih al-Bukhari, Juz I, halaman 375 [1064]).
 
Tatkala menjelaskan hadits di atas Imam Tirmidzi berkata:
 
هَذَا لِلصَّحِيحِ وَلِمَنْ لَيْسَ لَهُ عُذْرٌ. يَعْنِى فِى النَّوَافِلِ فَأَمَّا مَنْ كَانَ لَهُ عُذْرٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ فَصَلَّى جَالِسًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ الْقَائِمِ
 
“Hadits ini terdapat dalam kitab Shahih. Hal ini berlaku bagi orang yang tidak memiliki uzur dan berlaku dalam shalat sunnah. Barangsiapa yang memiliki uzur karena sakit atau selainnya, maka ia boleh shalat sunnah sambil duduk dan pahala yang ia peroleh seperti pahala orang yang shalat sambil berdiri.” (Sunan At Tirmidzi no. 372)
 
Tentang hadits tersebut, Imam Khaththabi berkata, “Yang dimaksud ialah orang sakit yang dengan susah payah shalat sambil berdiri mendapat pahala dua kali lipat daripada orang sakit yang shalat sambil duduk, karena ia melakukan ini demi mengharapkan pahala, walaupun sebetulnya ia dibenarkan untuk shalat sambil duduk karena sakit.”
 
Apabila sedang berada dalam perjalanan dengan menggunakan kendaraan, misalnya di atas perahu, bis, pesawat atau lainnya, dan tidak mungkin untuk menunaikan shalat sambil berdiri, maka shalat boleh dikerjakan sambil duduk. Dasarnya adalah hadits berikut ini:
 
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ فِي السَّفِيْنَةِ. فَقَالَ كَيْفَ أُصَلِّي فِي السَّفِيْنَةِ؟ قَالَ صَلِّ فِيْهَا قَائِمًا إِلاَّ أَنْ تَخَافَ الْغَرْقَ - رواه الحاكم والبيهقي، وقال الحاكم صحيح على شرط مسلم 
 
"Dari Ibnu Umar ra ia berkata, "Nabi Saw ditanya, bagaimana caraku shalat di perahu?" Beliau Saw menjawab, "Shalatlah dengan cara berdiri, kecuali jika kamu takut tenggelam." (Sanad hadits ini sesuai syarat yang ditetapkan oleh Imam Muslim. Al-Mustadrak ala al-Shahihain, Juz I, halaman 409 [1019], Sunan al-Baihaqi Kubra, Juz III, halaman 155 {5277), termasuk hadits hasan).
 
Lalu, bagaimanakah cara berdiri yang benar di dalam shalat?
 
Berdiri di dalam shalat dilakukan dengan cara meluruskan kedua kaki. Antara ujung kedua ibu jari direnggangkan kira-kira sejengkal, dan kedua tumitnya kira-kira empat jari. Wajah ditundukkan dan pandangan diarahkan ke tempat sujud. Kemudian bacalah surat al-Nas sebagai bentuk permohonan kepada Allah agar dijauhkan dari godaan setan. Imam al-Ghazali di dalam kitabnya Bidayah al-Hidayah menegaskan:
 
فَاسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ قَائِمًا مُزَاوِجًا بَيْنَ قَدَمَيْكَ بِحَيْثُ لاَ تَضُمُّهُمَا، وَاسْتَوِ قَائِمًا وَاقْرَأْ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ تَحَصُّنًا بِهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ - بداية الهداية: ٤٥
 
"Hendaklah berdiri menghadap kiblat seraya meluruskan dua kaki dan tidak merapatkannya. Berdirilah dengan tegak kemudian membaca surat al-Nas sebagai permohonan agar dijaga dari godaan setan yang terkutuk." (Bidayah al-Hidayah: 45).
 
Sementara Syaikh Nawawi menambahkan:
 
أَمَّا الرَّأْسُ فَاْلأَفْضَلُ إِطْرَاقُهُ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ لِلْخُشُوْعِ وَأَغَضُّ لِلْبَصَرِ - مراقي العبودية: ٤٥
 
"Paling utama kepala ditundukkan, karena posisi itu dapat memudahkan untuk khusyu' serta lebih menjaga pandangan." (Maraqi al-Ubudiyyah: 45).
 
Setelah itu mulailah melafalkan niat. Hukumnya sunnah. Tujuannya adalah untuk membantu hadirnya niat di dalam hati. Syaikh Nawawi al-Bantani di dalam kitab Kasyifah al-Saja Syarh Safinah al-Najah menjelaskan:
 
اَلنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ، فَلاَ يَجِبُ النُّطْقُ بِهَا بِاللِّسَانِ، لَكِنْ يُسَنُّ لِيُعَاوِنَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ - كاشفة السجا: ٥٢
 
"Niat itu di dalam hati. Tidak wajib diucapkan dengan lisan. Akan tetapi mengucapkan niat hukumnya adalah sunnah untuk membantu hati melafalkan niat." (Kasyifah al-Saja: 52).
 
Sebagian orang secara tergesa-gesa menyatakan bahwa melafalkan niat shalat itu adalah bid’ah, karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Tentu saja pernyataan itu tidak benar, karena dalam beberapa kesempatan Nabi Saw pernah melafalkan niat, misalnya dalam ibadah haji. Dalam sebuah hadits disebutkan:
 
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا - رواه مسلم
 
"Dari sahabat Anas ra berkata, "Aku mendengar Rasulullah Saw mengucapkan, "Aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji." (Shahih Muslim, Juz II, halaman 905 [185]).
 
Konteks hadits ini memang berbicara seputar haji. Namun shalat dapat di-qiyas-kan (dianalogikan) kepada ibadah haji. Jika ketika melaksanakan ibadah haji sunnah melafalkan niat, maka dalam shalat juga demikian, dianjurkan mengucapkan ushalli.
 
Untuk lebih memperjelas masalah ini simaklah uraian seorang ulama asal Yordania, yakni Syaikh Hasan bin Ali Assaqqaf sebagai berikut:
 
وَالتَّلَفُّظُ بِالنِّيَّةِ عِنْدَ تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ سُنَّةٌ. لِأَنَّ النَّبِيَّ لَمَّا قَالَ "إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ" لَمْ يَقُلْ اِجْهَرُوْا بِهَا، فَمَنْ أَتَى بِالنِّيَّةِ بِقَلْبِهِ - اَيْ اِسْتَحَضَرَهَا عِنْدَ تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ بِذِهْنِهِ وَلَمْ يَنْطِقْ بِهَا - صَحَّتْ صَلاَتُهُ. وَمَنْ زَادَ عَلَى ذَلِكَ فَتَلَفَّظَ بِهَا بِلِسَانِهِ صَحَّ أَيْضًا. وَأَتَى بِالسُّنَّةِ. خِلاَفًا لِمَنْ يَقُوْلُ بِأَنَّ التَّلَفُّظَ بِهَا بِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ. وَكَيْفَ يَكُوْنُ التَّلَفُّظُ بِالنِّيَّةِ بِدْعَةً وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَلَفَّظَ بِهَا فِيْ بَعْضِ الْعِبَادَاتِ، مِنْهَا قَوْلُهُ مُسْمِعَا النَّاسَ فِيْ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ: "لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجٍّ" وَمِنْهَا أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى سَيِّدَةِ عَائِشَةَ فَقَالَ وَهُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَأْكُلَ طَعَامًا "هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟" فَقَالَتْ لاَ. فَقَالَ فَإِنَّنِيْ إِذَنْ صَائِمٌ - صحيح صفة صلاة النبي: ٦٨
 
"Melafalkan niat ketika akan takbiratul ihram adalah sunnah. Pada saat Nabi Saw bersabda, "Seluruh perbuatan tergantung niat", Nabi Saw tidak pernah bersabda, "Keraskanlah (lafalkanlah) niatmu". Oleh karena itu, orang yang hanya menghadirkan niat di dalam hatinya dan tidak diucapkan, maka shalatnya sah. Begitu pula bila ia mengucapkannya dengan bibirnya, shalatnya juga sah dan ia telah melaksanakan perbuatan sunnah. Hal ini berbeda dengan pendapat segelintir orang yang mengatakan bahwa perbuatan itu adalah bid'ah yang tercela. Bagaimana mungkin melafalkan niat itu menjadi bid'ah padahal dalam beberapa ibadah yang lain Nabi Saw juga melakukannya. Misalnya ketika beliau memperdengarkan kepada orang banyak pada saat melaksanakan ihram untuk haji. Yakni ucapan Nabi Saw, "Labbaika bi'umratin wa hajjin" (Aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji). Begitu pula ketika pada suatu saat Nabi Saw menemui Sayyidah 'Aisyah ra untuk sarapan pagi. Nabi Saw bertanya, "Apakah ada makanan?" Sayyidah 'Aisyah ra menjawab, "Tidak ada." Nabi Saw kemudian mengucapkan, "Kalau begitu aku akan berpuasa." (Shahih Muslim [2771], Shahih Shifati Shalat al-Nabi: 68).

Pengertian Shalawat

Sebagai seorang Muslim tentunya Anda tidak asing dengan shalawat. Bahkan bisa dipastikan bahwa Anda pernah dan sering membaca shalawat, setidaknya tatkala menunaikan shalat yang di dalamnya kita mesti membaca shalawat setelah bacaan tasyahud. Namun tentunya tidak mudah bagi setiap Muslim untuk menjawab ketika ditanya apa sebenarnya yang dimaksud dengan shalawat. Kebanyakan dari kita hanya bisa mengatakan bahwa shalawat adalah sesuatu yang selalu dikaitkan dengan Rasulullah Muhammad SAW. Itulah sebabnya sebelum mengupas lebih jauh tentang shalawat, hal pertama yang perlu dijelaskan di sini adalah pengertian shalawat. 
 
Secara bahasa, makna shalawat adalah doa, berkah, rahmat dari Allah, dan ibadah. Dalam bahasa Arab, ‘shalawat’ adalah bentuk jamak dari kata ‘shalat’. Jika shalawat dilakukan manusia, maka ia berarti permohonan; jika dilakukan oleh malaikat, maka maknanya adalah permohonan ampunan (maghfirah); dan jika yang melakukan shalawat adalah Allah, maka maknanya adalah curahan rahmat dari-Nya.[1]
 
Sedangkan secara istilah, shalawat adalah suatu amal yang berisi permohonan doa kepada Allah agar Dia mencurahkan keselamatan dan keberkahan untuk Nabi Muhammad SAW, dan orang yang bershalawat itu memperoleh pahala di sisi Allah Ta’ala.[2] Sebagian ulama berpendapat bahwa shalawat Allah kepada hamba-Nya terbagi dua: shalawat yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Shalawat yang bersifat umum ini dicurahkan oleh Allah kepada para hamba-Nya yang beriman, termasuk di dalamnya shalawat yang pernah dipanjatkan oleh Rasulullah SAW untuk sebagian sahabatnya. Sedangkan shalawat yang bersifat khusus adalah shalawat yang diperuntukkan bagi para nabi dan rasul, terutama untuk Nabi Muhammad SAW.
 
Dijelaskan pula bahwa shalawat yang disampaikan Allah untuk Nabi Muhammad SAW pada hakikatnya adalah pujian Allah untuk beliau dengan cara menampakkan keutamaan dan kemuliaannya serta mendekatkan beliau kepada-Nya. Sedangkan shalawat yang dipanjatkan oleh seorang Mukmin untuk Rasulullah SAW termasuk merupakan salah satu wujud pengakuannya akan kerasulan beliau dan permohonannya kepada Allah agar senantiasa mencurahkan anugerah kemuliaan dan keutamaan untuk beliau, dan pada hakikatnya semua itu juga demi kebaikan kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW.
 
Dengan demikian, seorang Muslim yang bershalawat kepada Nabi SAW sejatinya bukan hanya sekedar mengucapkan pujian dan sanjungan untuk beliau, namun juga sedang bermunajat kepada Allah Sang Penguasa semesta ini.


[1] Demikian penjelasan Prof. Dr. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur’an.
[2] Silakan rujuk buku 135 Shalawat Nabi karya KH Habib Syarief Muhammad Al-Aydarus.

Kekayaan yang Bersifat Lahir

Kekayaan adalah sesuatu yang bisa diusahakan manusia untuk mendapatkannya. Dengan kekayaan, seseorang bisa memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Kebanyakan orang memaknai kekayaan sebagai kumpulan harta benda. Banyaknya simpanan uang di bank, perhiasan yang mahal, rumah dan kendaraan mewah, serta berbagai kepemilikan yang bersifat materi lainnya, sering kali dijadikan standar untuk mengukur kekayaan seseorang.
 
Setiap manusia pada dasarnya menginginkan kekayaan, kesejahteraan, dan kebahagiaan di dalam hidupnya. Pada hakikatnya, itu adalah hal yang wajar. Namun terkadang untuk merealisasikan keinginan itu, manusia sering kali didorong oleh motif-motif rendah, yakni semata-mata berorientasi duniawi dan ragawi. Akibatnya, dalam setiap usaha yang dilakukan, yang ada di benaknya adalah menghimpun kekayaan sebanyak-banyaknya dan meraup keuntungan sebesar-besarnya, tanpa mengindahkan hukum-hukum Allah yang berlaku atas dirinya.
 
Mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tidaklah dilarang oleh agama, asalkan dilakukan dengan cara-cara yang halal dengan niat menjadikan harta itu sebagai jalan untuk memperoleh ridha Allah Swt. Jika tidak dengan cara yang demikian, maka harta kekayaan bisa menjadi fitnah bagi seseorang, yang menyebabkannya terjebak dalam satu lingkaran yang di dalamnya setiap detik dari hidup yang dijalaninya hanya untuk mengumpulkan harta, bermegah-megahan dengannya, dan menggandrunginya, sehingga tak tersisa sedikit pun waktu baginya untuk memikirkan urusan akhirat. 
 
Harta kekayaan bisa menjadi fitnah besar yang diturunkan Allah Swt untuk umat manusia. Harta juga menjadi bencana besar yang dapat melalaikan manusia dari mengingat akhirat; lebih menyibukkan dunia yang fana dan melalaikan manusia untuk urusan akhirat yang kekal. Oleh karena itu, Rasulullah Saw telah memperingatkan dalam beberapa sabda beliau berikut ini:
 
“Sesungguhnya bagi tiap-tiap umat itu ada fitnah, dan sesungguhnya fitnah bagi umatku adalah harta.”[1]
 
“Jangan membuat tempat menimbun kekayaan yang akan menyebabkanmu gandrung pada dunia.”[2]
 
“Tiadalah dua serigala yang lapar dilepas dalam segerombolan kambing yang lebih merusak melebihi pengrusakan sifat rakusnya seseorang kepada harta kekayaan dan kedudukan terhadap agamanya.”[3]
 
Ketahuilah, orang yang hatinya telah gandrung pada dunia niscaya lenyap sifat ikhlas dari dirinya. Apa pun yang ia lakukan di kehidupan ini akan selalu berorientasi pamrih materi, dan lupa pada kebutuhan menggapai cinta dan keridhaan Allah. Oleh karena itu, jika saat ini terlintas di hati Anda untuk memiliki dunia, maka berusahalah menggapainya. Namun, hendaklah tidak mengisi setiap sudut jiwa dengan persoalan dunia. Sediakan ruang yang lebih luas di hati Anda untuk Tuhan, sehingga apa pun yang Anda peroleh di kehidupan dunia ini bisa menjadi jalan bagi Anda untuk menggapai keridhaan-Nya dan membuka pintu yang luas bagi kebahagiaan hidup Anda di akhirat kelak.


[1] HR Imam Turmudzi.
[2] HR Imam Turmudzi.
[3] HR Imam Turmudzi.

Pemahaman Bid'ah

Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan: 
 
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 
“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah SAW. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).
 
Menurut pengertian yang diberikan oleh Imam Izzuddin bin Abdissalam ini, seluruh perbuatan atau amalan keagamaan yang belum ada dan tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW adalah bid’ah, meskipun perbuatan itu adalah perbuatan yang baik.
 
Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushhaf, menulis kitab-kitab hadits, membukukan berbagai kajian fiqh dan tafsir, memperingati maulid Nabi SAW, khutbah dengan selain bahasa Arab, menunaikan ibadah haji dengan naik pesawat, arisan haji, pengajian setiap Ahad pagi, dan berbagai macam amalan baik lainnya adalah bid’ah. Mengapa? Karena semua hal itu belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW.
 
Namun demikian beliau tidak berpandangan bahwa semua yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW dianggap sebagai bid’ah dhalalah (bid’ah sesat dan tercela), yang pelakunya diancam akan disiksa di dalam neraka. Beliau justru membagi bid’ah ke dalam lima bagian. Ketika menjelaskan kelima macam bid’ah itu beserta contoh-contohnya, beliau berkata: 
 
Bid’ah wajibah (bid’ah wajib) memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang dhaif (lemah). Bid’ah muharramah (bid’ah haram) memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran Qadariyah, Jahamiyah, Murji’ah, dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap berbagai bid’ah tersebut termasuk bid’ah yang wajib.
 
Bid’ah mandubah (bid’ah sunnah) memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan madrasah-madrasah, jembatan-jembatan, dan setiap perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa generasi awal, di antaranya adalah shalat Tarawih. Bid’ah makruhah (bid’ah makruh) memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf al-Qur’an. Bid’ah mubahah (bid’ah mubah) memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran...” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/173).
 
Lima macam bid’ah ini bisa dikelompokkan menjadi dua bagian besar, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i berikut ini:
 
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ اِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلاَلَةِ  وَمَا اُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًَا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌُ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍِ
 
“Perkara yang baru terbagi menjadi dua bagian. Pertama, sesuatu yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Atsar (apa yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkari), inilah bid’ah yang sesat. Kedua perkara yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, inilah sesuatu yang baru yang tidak tercela.” (Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
 
Kalau kita perhatikan ungkapan Imam Syafi’i di atas terlihat dengan jelas bahwa beliau membagi bid’ah ke dalam dua kategori: bid’ah dhalalah (bid’ah sesat/tercela) dan bid’ah hasanah (bid’ah terpuji/baik). Yang menjadi tolok ukur dalam membedakan mana bid’ah tercela dan mana bid’ah terpuji adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar para sahabat, dan Ijma’ para ulama. Jika sesuatu yang baru itu bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’, maka ia tergolong bid’ah dhalalah. Sedangkan apabila ia bersesuaian dengan hal-hal tersebut, maka ia tergolong bid’ah hasanah, sekalipun belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW.
 
Bahkan Imam Syafi’i menafikan nama bid’ah terhadap sesuatu yang memiliki landasan syar’i meskipun belum pernah diamalkan pada masa salaf. Simaklah perkataan beliau berikut ini:
 
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ ِلأَنَّ تَرْكَهُمْ لِلْعَمَلِ بِهِ قَدْ يَكُوْنُ لِعُذْرٍِ قَامَ لَهُمْ فِي الْوَقْتِ أَوْ لِمَا هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوْ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْ جَمِيْعَهُمْ عِلْمٌ بِهِ -- الحافظ الغمار، إتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة، ص/٥
 
“Segala sesuatu yang memiliki dasar dari dalil-dalil syar’i, maka bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amalan lain yang lebih utama, dan atau barangkali hal itu belum terlintas di dalam pengetahuan mereka.”
 
Ketika Imam Syafi’i berkata demikian tentunya Anda tidak akan berpikir bahwa ucapan itu tanpa dalil. Namun rasanya kurang tepat bila tidak kami sertakan di sini dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat beliau saat membagi bid’ah menjadi dua bagian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
 
Dalil Pertama:
Hadits yang bersumber dari Aisyah ra yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
 
‏ ‏مَنْ ‏ ‏أَحْدَثَ ‏ ‏فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ ‏‏رَدٌّ

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syariat ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak.” (HR Muslim). 
 
Dalil Kedua:
Hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdillah al-Bajali ra yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
 
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
 
“Barangsiapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut, juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barangsiapa merintis dalam Islam sunnah (perbuatan) yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut, juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim).
 
Coba perhatikan hadits tersebut. Tidakkah di dalamnya terdapat kebolehan, bahkan anjuran agar setiap Muslim mengadakan (menciptakan) sunnah hasanah (perbuatan baik). Ada janji Nabi SAW di dalam hadits tersebut yang menyatakan bahwa seorang Muslim yang merintis perbuatan baik di dalam agama ini, lalu ada orang lain yang mengikutinya, maka ia akan memperoleh dua macam pahala: pahala karena ia telah merintis sebuah perbuatan baik dan pahala karena ada orang lain yang mengikuti perbuatan baik yang dirintisnya itu. 
 
Sebaliknya, yang dilarang adalah merintis (menciptakan/mengadakan) perbuatan buruk. Nabi SAW mengancam orang-orang yang melakukan hal ini dengan dua macam dosa: dosa rintisannya terhadap perbuatan buruk dan dosa karena ada orang yang mengikuti perbuatan buruknya itu.
 
Dalil Ketiga:
Hadits yang bersumber dari Abdurrahman bin Abd al-Qari ra, tentang perkataan Umar bin Khaththab ra berkaitan dengan shalat Tarawih berjamaah yang beliau anjurkan: 
 
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ 
 
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”  (HR Bukhari dan Malik).
 
Berdasarkan pada tiga hadits di atas muncullah pendapat Imam Syafi’i seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 
 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan akan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amalan yang akan menambah syiar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang.