Doa Ngapati dan Mitoni

إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، لَهُمُ الْفَاتِحَة
ثُمَّ إِلَى أَرْوَاحِ جَمِيْعِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَاْلأَوْلِيَاءِ وَالْمُفَسِّرِيْنَ وَالْمَحَدِّثِيْنَ وَالْعُلَمَاءِ وَالْمُصَنِّفِيْنَ خُصُوْصًا سَادَاتِنَا الْكِرَامِ أَصْحَابِ بَدْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَاْلأَنْصَارِ، لَهُمُ الْفَاتِحَة
اَللَّهُمَّ حَصِّلْ مَقَاصِدَنَا وَسَلِّمْ أُمُوْرَنَا وَاقْضِ حَوَائِجَنَا وَانْفَعْ عُلُوْمَنَا بِبَرَكَةِ الْفَاتِحَة
 
سورة الإخلاص ٧×، الفلق والناس والفاتحة ١×، اية الكرسي ٣
 
اَللَّهُمَّ سَلِّمْنَا مِنْ آفاَتِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ اْلآخِرَةِ، فِتْنَتِهِمَا وَفَضِيْحَتِهِمَا، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. اَللَّهُمَّ سَلِّمْ جَنِيْنَهَا وَعَافِ مَا فِيْ بَطْنِهَا مِمَّا لاَ نَرْجُوْهُ وَنَخَافُ. سَلاَمٌ عَلَى نُوْحٍ فِي الْعَالَمِيْنَ. إِنَّا كَذَا لِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْئَلُكَ بِجَاهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَيْهِ وَأَنْ تُسَلِّمَ جَنِيْنَهَا مِنَ اْلآفَاتِ وَالْعَاهَاتِ وَاْلأَمْرَاضِ وَعَنْ أُمِّ مُلْدِنْ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
 
اَللَّهُمَّ يَا مُبَارِكُ بَارِكْ لَنَا فِي الْعُمُرِ وَالرِّزْقِ وَالدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْوَلَدِ. اَللَّهُمَّ يَا حَافِظُ اِحْفَظْ وَلَدَ .... مَا دَامَ فِيْ بَطْنِ اُمِّهِ، وَاشْفِهِ مَعَ اُمِّهِ، أَنْتَ الشَّافِيْ لاَ شِفَاءَ اِلاَّ شِفَاؤُكَ، وَلاَ تُقَدِّرْهُ سَقِيْمًا وَلاَ مَحْرُوْمًا. اَللَّهُمَّ صَوِّرْهُ فِيْ بَطْنِهَا صُوْرَةً حَسَنَةً جَمِيْلَةً كَامِلَةً، وَثَبِّتْ قَلْبَهُ إِيْمَانًا بِكَ وَبِرَسُوْلِكَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا فِيْ دِيْنِكَ. اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ دُعَاءَنَا مِنْ دُعَاءِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، غَفَرَ اللهُ لَنَا وَلَهُمْ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
 
اَللَّهُمَّ احْفَظْ وَلَدَ .... فِيْ بَطْنِ زَوْجَتِهِ، وَاشْفِهِ أَنْتَ الشَّافِيْ لاَ شِفَاءَ اِلاَّ شِفَاؤُكَ، شِفَاءً عَاجِلاً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا وَلاَ أَلَمًا، وَأَنْتَ خَيْرُ مَسْؤُوْلٍ. اَللَّهُمَّ صَوِّرْهُ صُوْرَةً حَسَنَةً جَمِيْلَةً، وَثَبِّتْ قَلْبَهُ إِيْمَانًا بِكَ وَبِرَسُوْلِكَ. اَللَّهُمَّ أَخْرِجْهُ وَقْتَ وِلاَدَتِهِ سَهْلاً وَتَسْلِيْمًا لاَ مُعَسَّرًا، وَانْفَعْنَا بِهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَتَقَبَّلْ دُعَاءَنَا كَمَا تَقَبَّلْتَ دُعَاءَ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. اَللَّهُمَّ احْفَظِ الْوَلَدَ الَّذِيْ أَخْرَجْتَ مِنْ عَالِمِ الظُّلْمِ إِلَى عَالِمِ النُّوْرِ. وَاجْعَلْهُ وَلَدًا صَالِحًا صَحِيْحًا كَامِلاً لَطِيْفًا حَاذِقًا عَالِمًا عَامِلاً مُبَارَكًا، مِنْ كَلاَمِكَ الْكَرِيْمِ حَافِظًا. اَللَّهُمَّ طَوِّلْ عُمُوْرَهُ، وَصَحِّحْ جَسَدَهُ، وَأَحْسِنْ خُلُقَهُ، وَأَفْصِحْ لِسَانَهُ، وَحَسِّنْ صَوْتَهُ لِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ وَالْحَدِيْثِ النَّبَوِيِّ، بِجَاهِ نَبِيِّكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Lafal Takbir Hari Raya Id

Berikut ini adalah lafal takbir yang dianjurkan untuk dibaca pada malam dan hari raya Id. Takbir dilafalkan sebanyak tiga kali sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab:
 
 اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ
 
Artinya, “Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar.”
 
Selain tiga takbir ini, kita menambahkannya dengan zikir sebagai berikut sebagaimana zikir-takbir Rasulullah SAW di bukit Shafa yang diriwayatkan Imam Muslim: 
 
اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَلَا نَعْبُدُ اِلَّا اِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُوْنَ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الاَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ
 
Artinya, “Allah maha besar. Segala puji yang banyak bagi Allah. Maha suci Allah pagi dan sore. Tiada tuhan selain Allah. Kami tidak menyembah kecuali kepada-Nya, memurnikan bagi-Nya sebuah agama meski orang kafir tidak menyukainya. Tiada tuhan selain Allah yang esa, yang menepati janji-Nya, membela hamba-Nya, dan sendiri memorak-porandakan pasukan musuh. Tiada tuhan selain Allah. Allah maha besar.”
 
Adapun lafal takbir yang sering dibaca masyarakat sebagai berikut tidak masalah. Lafal takbir itu cukup baik untuk dibaca.
 
 اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
 
Artinya, “Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar. Tiada tuhan selain Allah. Allah maha besar. Segala puji bagi-Nya.”
 
Imam An-Nawawi menjelaskan sifat takbir pada malam dan hari raya. Imam An-Nawawi menyebut tiga takbir berturut-turut yang dikutip dari Imam As-Syafi‘i dan ulama Syafi'iyah:
 
 صفة التكبير المستحبة الله اكبر الله اكبر الله اكبر هذا هو المشهور من نصوص الشافعي في الام والمختصر وغيرهما وبه قطع الاصحاب
 
Artinya, “Sifat takbir yang dianjurkan, 'Allāhu akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar.' Ini (takbir 3 kali) yang masyhur dari nash Imam As-Syafi’i dalam Kitab Al-Umm, Al-Mukhtashar, dan selain keduanya. Sifat ini yang dipegang ulama ashab,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz V, halaman 42). 
 
Adapun berikut ini adalah penjelasan Imam An-Nawawi terkait lafal takbir yang lazim dibaca oleh masyarakat.
 
 قال صاحب الشامل والذي يقوله الناس لا بأس به أيضا وهو الله اكبر الله اكبر الله اكبر لا اله الا الله والله اكبر الله اكبر ولله الحمد
 
Artinya, “Penulis Kitab As-Syamil mengatakan, lafal takbir yang dibaca masyarakat selama ini tidak masalah, yaitu ‘Allāhu akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar. Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar. Allāhu akbar wa lillāhil hamdu,'” (Lihat Imam An-Nawawi, 2010 M: V/42-43). 
 
Sebagian ulama mazhab As-Syafi’i menambahkan lafal takbir berdasarkan pandangan Imam As-Syafi’i pada qaul qadim:
 
 اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا اللهُ اَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا وَالحَمْدُ للهِ عَلَى مَا أَوْلَانَا وَأَبْلَانَا
 
Artinya, “Allah maha besar, segala puji yang banyak bagi Allah. Allah maha besar atas hidayah-Nya kepada kita. Segala puji bagi Allah atas nikmat dan ujian-Nya untuk kita.” Wallahu a’lam. 
 
Sumber: di sini

Hizib Nashar dan Cara Mengamalkannya

Hizib yang cukup populer dan dikenal oleh masyarakat luas salah satunya adalah Hizib Nashar. Hizib Nashar dikenal pula dengan nama Hizib Qahr. Hizib ini merupakan wirid yang istiqamah diamalkan para penganut tarekat Qadiriah dan Syadziliyah. Hal ini tak lepas dari peran penyusun dari hizib ini yang juga merupakan ‘kiblat’ dari tarekat Syadziliyah, yakni Wali Qutb Syekh Abi Hasan as-Syadzili.
 
Hizib Nashar terkenal sebagai bacaan hizib yang berfaedah untuk menangkal ‘serangan’ dari musuh yang merasa dengki dengan perjuangan dan pencapaian seseorang. Hal demikian seperti yang dijelaskan dalam referensi berikut:
 
وهو حزب مشهور ومعروف بعظمته بالإنتصار على الخصوم والأعداء حتى لا يبقى منهم ولا يذر ويسميه البعض حزب القهر لشدة ما يفعله بالعدو
 
“Hizib ini merupakan hizib yang masyhur dan terkenal keagungannya dengan menolong pembacanya untuk mengalahkan terhadap musuh, hingga musuh menjadi tak tersisa sama sekali. Hizib ini juga dinamakan dengan hizib al-qahr (penakluk) karena kerasnya efek penaklukkan hizib ini terhadap musuh” (Sayyid Mukhlif Yahya al-‘Ali al-Hudzaifi al-Husaini, al-Kunuz an-Nuraniyah, hal. 366). 
 
Mengamalkan Hizib Nashar perlu sangat berhati-hati, terutama saat meniatkan wirid ini untuk seseorang yang dianggap musuh oleh pengamal Hizib Nashar. Jangan sampai musuh yang dimaksud adalah orang yang hanya sebatas tidak disukai karena alasan yang bersifat pribadi (Hadzzin Nafsi). Sebab, jika demikian maka dampak dari bacaan hizib ini akan kembali pada pembaca. Hal demikian seperti yang disinggung dalam kitab al-Mafakhir al-‘Aliyah fi al-Ma’atsir as-Syadziliyah:
 
 وقد ذكر بعض العارفين أنها جربت مرارا وأهلك الله بها أفرادا من الجبابرة المتمردين والظلمة الباغين ، وإياك والدعاء على من لم يستحق بالوجه الشرعي فتدعو عليه لحظ نفس فيرجع وبال الدعاء عليك -وقد يدعي بها على الأعداء الباطنة المانعة من سبيل الرشاد السالكة سبيل المخالفة والعناد ، فيقصدهم في الدعوة وعند ذكر الأعداء، فافهم هذا التنبيه
 
“Sebagian orang arif menjelaskan bahwa Hizib Nashar berulang kali mujarab. Dengan perantara hizib ini, Allah menghancurkan kaum yang sewenang-wenang yang durhaka dan orang-orang zalim yang melampaui batas. Janganlah engkau memanfaatkan doa ini untuk menyerang orang yang tidak berhak secara syara’, maka doa seperti ini hanya bersifat menguntungkan diri sendiri dan akibatnya akan kembali pada engkau sendiri. Doa ini terkadang pula ditujukan atas musuh yang bersifat samar (Jin, Setan) yang mencegah dari jalan petunjuk dan merambah jalan yang berbeda dan menyeleweng dari ketentuan syara’. Maka seseorang dapat menertentukan pada mereka (musuh yang samar) saat berdoa dengan hizib ini dan tatkala mengucapkan kata al-A’da’ (musuh) yang terdapat dalam Hizib Nashar. Maka pahamilah keterangan penting ini” (Syekh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ibad al-Mahalli, al-Mafakhir al-‘Aliyah fi al-Ma’atsir as-Syadziliyah, hal. 213, Cet. Al-Maktabah al-Azhariyah li at-Turats).
 
Musuh yang patut untuk dibentengi dengan membaca hizib ini semestinya adalah mereka yang menghalau perjuangan kita dalam berdakwah meluhurkan agama Islam atau dalam melaksanakan kewajiban syara’. Baik musuh yang bersifat dzahir, seperti manusia atau musuh yang bersifat samar, seperti jin dan setan. 
 
Syarat utama dalam membaca hizib ini adalah membaca terlebih dahulu bacaan “Hasbunallahu wa Ni’mal Wakil” sebanyak 450 kali. Lalu selanjutnya membaca Hizib Nashar. Selain itu, membaca Hizib Nashar harus dilakukan dengan khusyu’ dan rendah diri saat serta menghadirkan tujuan yang dimaksud pada saat pertengahan membaca hizib. 
 
Sedangkan tata cara mengamalkan Hizib Nashar cenderung dapat diamalkan dengan berbagai cara, sesuai dengan petunjuk dari orang yang mengijazahkan hizib ini (mujiz).misalnya dengan cara berikut:
 
Pertama, dibaca seperti halnya wirid sehari-hari dengan membaca saat pagi dan sore hari. Caranya adalah saat pagi hari membaca “Hasbunallahu wa Ni’mal Wakil” 450 kali, lalu setelah itu membaca doa hizib ini tiga kali atau satu kali. Begitu juga hal demikian sama halnya dilakukan tatkala sore hari. 
 
Kedua, wirid ini juga dapat mendatangkan kewibawaan dengan melakukan cara berikut, setiap setelah shalat lima waktu membaca “Hasbunallahu wa Ni’mal Wakil” 450 kali, lalu membaca hizib ini sebanyak tiga kali. Membaca dengan cara demikian dilakukan secara istiqamah. 
 
Ketiga, bagi orang yang dikuasai oleh musuh atau oleh orang yang menzaliminya, maka hizib ini diamalkan dengan cara berikut, setelah melaksanakan shalat Isya’, berwudhu dan berdiri kembali untuk melaksanakan shalat hajat sebanyak dua rakaat. Selanjutnya membaca “Hasbunallahu wa Ni’mal Wakil” 450 kali lalu membaca hizib ini sebanyak tujuh kali dalam satu kali duduk. Pengamalan demikian terus dilakukan setiap malam, insyaallah atas seizin Allah ia akan dibebaskan dari belenggu musuh. 
 
Semoga kita dapat istiqamah mengamalkan hizib ini dengan penuh kekhusyu’an, sehingga kita mendapatkan faedah dari hizib ini serta dikaruniai barokah dari penyusun Hizib Nashar. Amin Yaa Rabbal ‘Alamin.
 
Sumber: di sini

Ilmu Tauhid

Pengertian Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid adalah:
 
عِلْمُ التَّوْحِيْدِ عِلْمُ يُقْتَدَرُ بِهِ عَلَى اِثْبَاتِ الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا الْيَقِيْنِيَّةِ (تحفة المريد : ٣٨)
 
Suatu ilmu yang karenanya ada kemampuan untuk mengokohkan 'aqidah-'aqidah agama dengan dalil-dalilnya yang pasti. (Al-Bajuri, Tuhfatul Murid, hlm. 38)
 
Ilmu ini disebut dengan Ilmu Tauhid karena di dalamnya membahas tentang keesaan Allah dan pembuktiannya. Kadangkala ilmu tauhid juga disebut Ilmu Ushuluddin, karena di dalamnya dijelaskan pokok-pokok keyakinan dalam agama Islam. Ilmu ini juga dinamakan Ilmu Kalam, karena di dalam menjelaskan dan membuktikan keesaan Tuhan itu memerlukan pembicaraan yang benar.
 
Pentingnya Belajar Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid adalah ilmu yang sangat penting bagi setiap Muslim. Sebab ilmu ini menyangkut 'aqidah yang berkaitan dengan Islam. Sedangkan 'aqidah merupakan pondasi bagi keberagamaan seseorang dan benteng yang kokoh untuk memelihara 'aqidah Muslim dari setiap ancaman keraguan dan kesesatan.
 
Kita seringkali mendengar terjadinya berbagai penyimpangan dalam berpikir, berkata dan bertindak. Hal itu terjadi karena jauhnya pemahaman yang benar tentang dasar-dasar 'aqidah Islam dan masalah-masalah keimanan.
 
Prinsip-prinsip 'aqidah dalam Islam dan masalah-masalah keimanan adalah ajaran yang dibawa oleh para rasul sejak dahulu. Hal tersebut harus diyakini oleh setiap orang yang beriman, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah Subhanahu wata’ala:
 
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ (الأنبياء: ٢٥)
 
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang sebenarnya) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. al-Anbiya': 25)
 
Telah dimaklumi dalam ajaran agama, bahwa semua amal saleh yang dilakukan oleh seseorang dengan penuh ketulusan hanya akan diterima Allah Subhanahu wata’ala apabila didasari dengan 'aqidah Islam yang benar yang menjadi bahasan Ilmu Tauhid ini. Karena penyimpangan dari 'aqidah yang benar berarti penyimpangan dari keimanan yang murni kepada Allah. Dan penyimpangan dari keimanan adalah bentuk kekufuran kepada Allah Subhanahu wata’ala. Sedangkan Allah Subhanahu wata’ala tidak akan menerima amal baik yang dilakukan oleh orang yang tidak beriman, berapapun banyaknya amal yang dia kerjakan. Dalam hal ini Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
 
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ (البقرة: ٢١٧)
 
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah: 217)
 
Sumber: di sini

Hisablah Diri Kalian

Diriwayatkan bahwa dalam salah satu khutbahnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra pernah berpesan:

“Hisablah diri kalian sebelum tiba waktu penghisaban kalian. Sungguh, tidaklah suatu kaum itu meninggalkan jihad fi sabilillah, kecuali Allah akan menimpakan kefakiran pada mereka. Dan tidaklah perbuatan zina itu merebak dalam suatu kaum, kecuali Allah akan menimpakan siksa-Nya pada mereka.”
 
Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam Kitab Kanzul Ummal pada hadits nomor 14114. 
 
Di sini Abu Bakar Ash-Shiddiq ra memberikan nasihat kepada kita agar sesegera mungkin menghisab diri sendiri, sebelum tiba saat penghisaban yang akan dilakukan Allah pada kita. Menghisab diri sendiri artinya melakukan penimbangan atas amal kebaikan yang mendatangkan pahala yang telah kita lakukan dan amal keburukan yang mendatangkan dosa yang juga telah kita lakukan. Perhatikanlah, mana di antara keduanya yang lebih banyak. Yang terbaik adalah selalu menduga bahwa keburukan kita jauh lebih banyak daripada kebaikan. Sikap ini akan membuat kita senantiasa terdorong untuk melakukan amal kebajikan. 
 
Nasihat ini juga mengajarkan kepada kita agar jangan pernah meninggalkan jihad fi sabilillah, karena ia merupakan salah satu bentuk amal yang paling utama. Namun demikian, janganlah jihad diartikan hanya sebagai perang, karena perang hanya salah satu dari sekian banyak makna jihad. Jihad fi sabilillah adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menegakkan nilai-nilai yang mendatangkan keridhaan Allah. Karena tujuan dari jihad itu adalah menggapai ridha Allah, maka hendaklah ia dilaksanakan dengan cara-cara yang diridhai Allah. Orang yang dalam dirinya sama sekali tak memiliki semangat untuk menegakkan nilai-nilai yang mendatangkan keridhaan Allah, maka sungguh ia menjadi seorang manusia yang sangat fakir dalam keimanan. Boleh jadi hidupnya bergelimang harta, namun sebenarnya ia hidup dalam kemiskinan, yakni miskin iman. 
 
Melalui nasihat ini juga Abu Bakar Ash-Shiddiq ra mengingatkan kita agar menjauhi zina dan segala macam jalan yang bisa mengantarkan manusia kepadanya. Hendaklah setiap diri berusaha menciptakan jarak sejauh mungkin dengan jalan-jalan yang menuju kepada perzinahan, agar zina tidak menjadi kebiasaan yang hidup tengah-tengah suatu kaum. Seandainya zina telah menjadi hal biasa bagi suatu kaum, maka tak ada yang layak mereka peroleh dari sisi Tuhan selain siksa-Nya. 
 
Oleh karena itu, hisablah diri sebelum Allah menghisabnya, berjuanglah menegakkan segala amal yang diridhai Allah, dan jauhi zina serta jalan-jalan yang mengarah kepadanya, niscaya Allah akan menyediakan bagi kita keberkahan dan pahala yang luar biasa dari sisi-Nya.

Pengertian Nikah

Nikah secara bahasa artinya al-wath’u, yakni hubungan seksual. Sedangkan secara syariat, nikah dimaknai sebagai akad dengan menggunakan lafazh inkaah (nakahtuka, zawajtuka) atau yang semakna dengannya disertai syarat-syarat tertentu yang setelahnya menyebabkan seseorang dibolehkan melakukan hubungan seksual. Keterangan yang demikian ini bisa kita temukan dalam Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Manhaj karya Syekh Sulaiman al-Bujairimi dan al-Iqna’ karya Syekh Ahmad asy-Syarbini, kedua-duanya dalam Kitab an-Nikah.
 
Nikah merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan di dalam Islam. Agama suci ini memandang bahwa pernikahan sama sekali bukanlah penghalang bagi seseorang untuk mencapai tingkat spiritualitas tentinggi. Sebaliknya, pernikahan merupakan jalan bagi seseorang untuk memenuhi setengah dari keberagamaannya. Artinya, setelah seseorang menikah maka setengah dari urusan agamanya telah ia penuhi.
 
Sebagai makhluk berakal, manusia menjadi yang paling sempurna di antara ciptaan Allah SWT. Oleh karena keadaan itu pula manusia mengemban tugas yang tidak sedikit yang kelak harus dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT. Seiring perjalanan hidupnya sejak pertama kali dilahirkan ke dunia ini hingga menjadi manusia dewasa, bertambah pula kebutuhannya. Satu di antara sekian banyak kebutuhan manusia adalah kebutuhan vital untuk merasakan hubungan biologis yang harmonis dengan lawan jenisnya. 
 
Kebutuhan tersebut pada hakikatnya adalah fitrah yang tidak mungkin seorang pun mampu menghilangkan dari dirinya. Nah, menikah adalah salah satu cara paling beradab dari manusia dalam memenuhi kebutuhan biologisnya. Cara ini pula yang membedakan manusia dari binatang yang melampiaskan hasratnya sesuai keinginannya tanpa panduan dan batasan yang jelas. Dengan demikian, jika ada manusia yang memenuhi kebutuhan biologisnya tanpa melewati pintu pernikahan, maka sungguh ia telah menempatkan dirinya sederajat dengan binatang. Na’udzubillah.
 
Namun demikian, pernikahan bukanlah sekedar untuk membedakan manusia dari binatang dalam persoalan memenuhi kebutuhan biologis. Ada tujuan yang jauh lebih utama dan lebih mulia daripada itu, yakni menggapai keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Inilah hendaknya yang menjadi tujuan dan arah dilaksanakannya suatu pernikahan, dan hal itu hanya bisa digapai bila pernikahan dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
 
Allah SWT berfirman:
 
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً، إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
 
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum [30]: 21)
 
Coba Anda perhatikan ayat di atas. Jika Anda merenungkan maknanya maka Anda akan mendapatkan kesimpulan bahwa menikah bukanlah suatu proses yang menjadikan salah satu pihak sebagai objek. Ketika pernikahan dilangsungkan maka kedua belah pihak (suami – istri) pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama untuk berumah tangga, saling melengkapi dan saling mengisi kekurangan antara satu dengan lainnya, demi terciptanya kehidupan yang harmonis di antara mereka berdua. Hal inilah yang akan melahirkan ketenteraman hati dan jiwa sehingga keduanya bisa menjadikan pernikahan sebagai ladang tempat menyemai kebaikan yang kelak akan mereka panen hasilnya saat berpulang ke haribaan Allah SWT.
 
Sebaliknya, ketika kesadaran tersebut tidak hadir pada keduanya, maka salah satu dari mereka akan menjadi objek bagi yang lain. Ketenteraman hidup takkan tercapai dan jiwa mereka akan terombang-ambing. Dalam kasus seperti ini pernikahan sekedar menjadi jalan untuk melampiaskan syahwat dan bila telah terpenuhi, perasaan bosan mulai hadir, maka mereka akan mencari yang lain. Orang-orang yang menjalani pernikahan dengan cara seperti ini pasti akan lalai hatinya dari tujuan hidup yang sesungguhnya.
 
Nikah menempati kedudukan yang penting dalam ajaran Islam. Untuk mengetahui seberapa penting menikah bagi seorang Muslim, simaklah riwayat berikut ini:
 
عَنْ أَبِيْ ذَرٍِّ قَالَ دَخَلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ عَكَّافُ بْنُ بِشْرٍ التَّمِيْمِيُّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَكَّافُ هَلْ لَكَ مِنْ زَوْجَةٍ قَالَ لاَ قَالَ وَلاَ جَارِيَةٍ قَالَ وَلاَ جَارِيَةَ قَالَ وَأَنْتَ مُوْسِرٌ بِخَيْرٍ قَالَ وَأَنَا مُوْسِرٌ بِخَيْرٍ قَالَ أَنْتَ إِذًا مِنْ إِخْوَانِ الشَّيَاطِيْنِ وَلَوْ كُنْتَ فِي النَّصَارَى كُنْتَ مِنْ رُهْبَانِهِمْ إِنَّ سُنَّتَنَا النِّكَاحُ شِرَارُكُمْ عُزَّابُكُمْ وَأَرَاذِلُ مَوْتَاكُمْ عُزَّابُكُمْ أَبِالشَّيْطَانِ تَمَرَّسُوْنَ مَا لِلشَّيْطَانِ مِنْ سِلاَحٍ أَبْلَغُ فِي الصَّالِحِيْنَ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ الْمُتَزَوِّجُوْنَ أُولَئِكَ الْمُطَهَّرُوْنَ الْمُبَرَّءُوْنَ مِنَ الْخَنَا وَيْحَكَ يَا عَكَّافُ إِنَّهُنَّ صَوَاحِبُ أَيُّوْبَ وَدَاوُدَ وَيُوْسُفَ وَكُرْسُفَ فَقَالَ لَهُ بِشْرُ بْنُ عَطِيَّةَ وَمَنْ كُرْسُفُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ رَجُلٌ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ بِسَاحِلٍ مِنْ سَوَاحِلِ الْبَحْرِ ثَلاَثَ مِائَةِ عَامٍ يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ ثُمَّ إِنَّهُ كَفَرَ بِاللهِ الْعَظِيْمِ فِيْ سَبَبِ امْرَأَةٍ عَشِقَهَا وَتَرَكَ مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ عِبَادَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ اسْتَدْرَكَهُ اللهُ بِبَعْضِ مَا كَانَ مِنْهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَيْحَكَ يَا عَكَّافُ تَزَوَّجْ وَإِلاَّ فَأَنْتَ مِنَ الْمُذَبْذَبِيْنَ قَالَ زَوِّجْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ قَدْ زَوَّجْتُكَ كَرِيْمَةَ بِنْتَ كُلْثُوْمٍ الْحِمْيَرِيِّ
 
Artinya: Dari Abu Dzar dia berkata, “Seorang laki-laki yang bernama Akkaf bin Bisyr at-Taimi datang menemui Rasulullah SAW. Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya, “Wahai Akkaf, apakah kamu telah memiliki istri?” Dia menjawab, “Tidak.” Nabi bertanya lagi, “Tidak juga seorang budak wanita?” Dia kembali menjawab, “Tidak juga budak wanita.” Nabi bersabda, “Engkau dalam keadaan lapang?” Ia menjawab, “Ya, saya dalam keadaan lapang.” Nabi SAW pun bersabda, “Kalau begitu kamu termasuk saudara-saudara setan, seandainya kamu orang Nasrani pasti kamu termasuk para pendeta mereka. Sesungguhnya sunah kami adalah menikah, orang yang paling buruk di antara kalian adalah orang yang masih bujang, dan mayit kalian yang paling hina adalah orang yang meninggal dalam keadaan masih bujang. Apakah kalian hendak melawan setan padahal tidak ada senjata setan yang paling ampuh untuk melawan orang-orang saleh selain wanita? Kecuali bagi orang-orang yang sudah beristri. Mereka itulah orang-orang yang disucikan lagi dihindarkan dari perbuatan keji. Celakalah kamu wahai Akkaf! Sesungguhnya para wanita adalah senjata yang digunakan untuk menggoda Nabi Ayyub, Nabi Daud, Nabi Yusuf dan Kursuf.” Bisyr bin Athiyah lalu bertanya kepada beliau, “Siapa Kursuf itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ia adalah seorang lelaki yang beribadah kepada Allah di tepi laut selama tiga ratus tahun; siangnya ia berpuasa dan malamnya ia shalat, namun kemudian ia kafir kepada Allah Yang Maha Agung disebabkan seorang wanita yang ia sukai, dan ia tinggalkan kebiasaan ibadahnya kepada Allah Azza wa Jalla. Kemudian Allah mengembalikannya menjadi baik sehingga ia bertaubat. Celaka kamu wahai Akkaf, hendaklah engkau menikah! Jika tidak berarti kamu termasuk orang yang ragu-ragu.” Kemudian Akkaf berkata, “Nikahkan aku wahai Rasulullah!” Beliau lalu bersabda, “Aku nikahkan engkau dengan Karimah binti Kultsum al-Himyari.” (HR Ahmad)
 
Dari hadits di atas kita dapatkan informasi bahwa menikah merupakan sunnah Nabi SAW. Beliau adalah seorang yang paling mulia di sisi Allah SWT dan beliau pun menikah. Dalam pandangan Nabi, seorang yang hidup membujang (dan dengan sengaja tidak mau menikah) adalah seburuk-buruk manusia, dan jika ia meninggal dunia maka ia mati dalam keadaan hina. Sebaliknya, orang yang menikah adalah orang yang menegakkan sunnah Nabi dan orang yang suci serta selamat dari perbuatan kotor. Maka, jika Anda saat ini belum menikah dan telah memiliki kemampuan untuk menjalani pernikahan, sebagaimana Akkaf pada hadits di atas, hendaklah Anda segera menikah sehingga Anda tidak tergolong ke dalam kelompok orang-orang yang ragu.

Berdiri Menghadap Kiblat

Rasulullah Saw melakukan shalat fardhu maupun sunnah dengan berdiri menghadap kiblat. Namun demikian, bagi yang tidak mampu berdiri maka boleh shalat dengan cara duduk atau tidur miring. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits:
 
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيْرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ، فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ - رواه البخاري
 
"Dari Imran bin Hushain ra ia bercerita, "Pada saat aku terkena penyakit ambien, aku bertanya kepada Nabi Saw tentang caraku mengerjakan shalat." Maka Nabi Saw bersabda, "Shalatlah dengan cara berdiri, jika tidak mampu maka duduk, dan bila tidak mampu maka tidur miring." (Shahih al-Bukhari, Juz I, halaman 376 [1066]).
 
Berdiri saat menunaikan shalat fardhu itu hukumnya wajib. Sementara pada shalat sunnah hukumnya adalah sunnah. Dalam hadits disebutkan:
 
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَهُوَ قَاعِدٌ، فَقَالَ مَنْ صَلَّى قَإِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلاَّ قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلاَّ نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ - رواه البخاري
 
"Dari Imran bin Hushain ia bercerita, "Saya bertanya kepada Nabi Saw tentang shalat yang dilakukan oleh seseorang sembari duduk. Nabi Saw menjawab, "Barangsiapa yang shalat dengan berdiri, maka itulah yang paling utama. Sedangkan shalat sambil duduk pahalanya setengah pahala shalat berdiri. Dan shalat sambil tidur itu pahalanya setengah dari shalat sambil duduk." (Shahih al-Bukhari, Juz I, halaman 375 [1064]).
 
Tatkala menjelaskan hadits di atas Imam Tirmidzi berkata:
 
هَذَا لِلصَّحِيحِ وَلِمَنْ لَيْسَ لَهُ عُذْرٌ. يَعْنِى فِى النَّوَافِلِ فَأَمَّا مَنْ كَانَ لَهُ عُذْرٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ فَصَلَّى جَالِسًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ الْقَائِمِ
 
“Hadits ini terdapat dalam kitab Shahih. Hal ini berlaku bagi orang yang tidak memiliki uzur dan berlaku dalam shalat sunnah. Barangsiapa yang memiliki uzur karena sakit atau selainnya, maka ia boleh shalat sunnah sambil duduk dan pahala yang ia peroleh seperti pahala orang yang shalat sambil berdiri.” (Sunan At Tirmidzi no. 372)
 
Tentang hadits tersebut, Imam Khaththabi berkata, “Yang dimaksud ialah orang sakit yang dengan susah payah shalat sambil berdiri mendapat pahala dua kali lipat daripada orang sakit yang shalat sambil duduk, karena ia melakukan ini demi mengharapkan pahala, walaupun sebetulnya ia dibenarkan untuk shalat sambil duduk karena sakit.”
 
Apabila sedang berada dalam perjalanan dengan menggunakan kendaraan, misalnya di atas perahu, bis, pesawat atau lainnya, dan tidak mungkin untuk menunaikan shalat sambil berdiri, maka shalat boleh dikerjakan sambil duduk. Dasarnya adalah hadits berikut ini:
 
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ فِي السَّفِيْنَةِ. فَقَالَ كَيْفَ أُصَلِّي فِي السَّفِيْنَةِ؟ قَالَ صَلِّ فِيْهَا قَائِمًا إِلاَّ أَنْ تَخَافَ الْغَرْقَ - رواه الحاكم والبيهقي، وقال الحاكم صحيح على شرط مسلم 
 
"Dari Ibnu Umar ra ia berkata, "Nabi Saw ditanya, bagaimana caraku shalat di perahu?" Beliau Saw menjawab, "Shalatlah dengan cara berdiri, kecuali jika kamu takut tenggelam." (Sanad hadits ini sesuai syarat yang ditetapkan oleh Imam Muslim. Al-Mustadrak ala al-Shahihain, Juz I, halaman 409 [1019], Sunan al-Baihaqi Kubra, Juz III, halaman 155 {5277), termasuk hadits hasan).
 
Lalu, bagaimanakah cara berdiri yang benar di dalam shalat?
 
Berdiri di dalam shalat dilakukan dengan cara meluruskan kedua kaki. Antara ujung kedua ibu jari direnggangkan kira-kira sejengkal, dan kedua tumitnya kira-kira empat jari. Wajah ditundukkan dan pandangan diarahkan ke tempat sujud. Kemudian bacalah surat al-Nas sebagai bentuk permohonan kepada Allah agar dijauhkan dari godaan setan. Imam al-Ghazali di dalam kitabnya Bidayah al-Hidayah menegaskan:
 
فَاسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ قَائِمًا مُزَاوِجًا بَيْنَ قَدَمَيْكَ بِحَيْثُ لاَ تَضُمُّهُمَا، وَاسْتَوِ قَائِمًا وَاقْرَأْ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ تَحَصُّنًا بِهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ - بداية الهداية: ٤٥
 
"Hendaklah berdiri menghadap kiblat seraya meluruskan dua kaki dan tidak merapatkannya. Berdirilah dengan tegak kemudian membaca surat al-Nas sebagai permohonan agar dijaga dari godaan setan yang terkutuk." (Bidayah al-Hidayah: 45).
 
Sementara Syaikh Nawawi menambahkan:
 
أَمَّا الرَّأْسُ فَاْلأَفْضَلُ إِطْرَاقُهُ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ لِلْخُشُوْعِ وَأَغَضُّ لِلْبَصَرِ - مراقي العبودية: ٤٥
 
"Paling utama kepala ditundukkan, karena posisi itu dapat memudahkan untuk khusyu' serta lebih menjaga pandangan." (Maraqi al-Ubudiyyah: 45).
 
Setelah itu mulailah melafalkan niat. Hukumnya sunnah. Tujuannya adalah untuk membantu hadirnya niat di dalam hati. Syaikh Nawawi al-Bantani di dalam kitab Kasyifah al-Saja Syarh Safinah al-Najah menjelaskan:
 
اَلنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ، فَلاَ يَجِبُ النُّطْقُ بِهَا بِاللِّسَانِ، لَكِنْ يُسَنُّ لِيُعَاوِنَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ - كاشفة السجا: ٥٢
 
"Niat itu di dalam hati. Tidak wajib diucapkan dengan lisan. Akan tetapi mengucapkan niat hukumnya adalah sunnah untuk membantu hati melafalkan niat." (Kasyifah al-Saja: 52).
 
Sebagian orang secara tergesa-gesa menyatakan bahwa melafalkan niat shalat itu adalah bid’ah, karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Tentu saja pernyataan itu tidak benar, karena dalam beberapa kesempatan Nabi Saw pernah melafalkan niat, misalnya dalam ibadah haji. Dalam sebuah hadits disebutkan:
 
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا - رواه مسلم
 
"Dari sahabat Anas ra berkata, "Aku mendengar Rasulullah Saw mengucapkan, "Aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji." (Shahih Muslim, Juz II, halaman 905 [185]).
 
Konteks hadits ini memang berbicara seputar haji. Namun shalat dapat di-qiyas-kan (dianalogikan) kepada ibadah haji. Jika ketika melaksanakan ibadah haji sunnah melafalkan niat, maka dalam shalat juga demikian, dianjurkan mengucapkan ushalli.
 
Untuk lebih memperjelas masalah ini simaklah uraian seorang ulama asal Yordania, yakni Syaikh Hasan bin Ali Assaqqaf sebagai berikut:
 
وَالتَّلَفُّظُ بِالنِّيَّةِ عِنْدَ تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ سُنَّةٌ. لِأَنَّ النَّبِيَّ لَمَّا قَالَ "إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ" لَمْ يَقُلْ اِجْهَرُوْا بِهَا، فَمَنْ أَتَى بِالنِّيَّةِ بِقَلْبِهِ - اَيْ اِسْتَحَضَرَهَا عِنْدَ تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ بِذِهْنِهِ وَلَمْ يَنْطِقْ بِهَا - صَحَّتْ صَلاَتُهُ. وَمَنْ زَادَ عَلَى ذَلِكَ فَتَلَفَّظَ بِهَا بِلِسَانِهِ صَحَّ أَيْضًا. وَأَتَى بِالسُّنَّةِ. خِلاَفًا لِمَنْ يَقُوْلُ بِأَنَّ التَّلَفُّظَ بِهَا بِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ. وَكَيْفَ يَكُوْنُ التَّلَفُّظُ بِالنِّيَّةِ بِدْعَةً وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَلَفَّظَ بِهَا فِيْ بَعْضِ الْعِبَادَاتِ، مِنْهَا قَوْلُهُ مُسْمِعَا النَّاسَ فِيْ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ: "لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجٍّ" وَمِنْهَا أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى سَيِّدَةِ عَائِشَةَ فَقَالَ وَهُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَأْكُلَ طَعَامًا "هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟" فَقَالَتْ لاَ. فَقَالَ فَإِنَّنِيْ إِذَنْ صَائِمٌ - صحيح صفة صلاة النبي: ٦٨
 
"Melafalkan niat ketika akan takbiratul ihram adalah sunnah. Pada saat Nabi Saw bersabda, "Seluruh perbuatan tergantung niat", Nabi Saw tidak pernah bersabda, "Keraskanlah (lafalkanlah) niatmu". Oleh karena itu, orang yang hanya menghadirkan niat di dalam hatinya dan tidak diucapkan, maka shalatnya sah. Begitu pula bila ia mengucapkannya dengan bibirnya, shalatnya juga sah dan ia telah melaksanakan perbuatan sunnah. Hal ini berbeda dengan pendapat segelintir orang yang mengatakan bahwa perbuatan itu adalah bid'ah yang tercela. Bagaimana mungkin melafalkan niat itu menjadi bid'ah padahal dalam beberapa ibadah yang lain Nabi Saw juga melakukannya. Misalnya ketika beliau memperdengarkan kepada orang banyak pada saat melaksanakan ihram untuk haji. Yakni ucapan Nabi Saw, "Labbaika bi'umratin wa hajjin" (Aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji). Begitu pula ketika pada suatu saat Nabi Saw menemui Sayyidah 'Aisyah ra untuk sarapan pagi. Nabi Saw bertanya, "Apakah ada makanan?" Sayyidah 'Aisyah ra menjawab, "Tidak ada." Nabi Saw kemudian mengucapkan, "Kalau begitu aku akan berpuasa." (Shahih Muslim [2771], Shahih Shifati Shalat al-Nabi: 68).